Refleksi Pejuang Garis Dua: Antara Nyinyir dan Dukungan Nyata



☆Sebuah Tulisan Refleksi☆
Oleh : Yunia Haida


Garis Dua Bukan Soal Keberuntungan, Tapi Perjuangan

Menjadi pejuang garis dua bukan sekadar tentang dua garis merah pada alat uji kehamilan. Itu hanyalah simbol kecil dari perjuangan besar: rangkaian doa, pemeriksaan medis, rutinitas hormonal, hingga air mata yang jatuh tanpa suara setiap datang bulan.

Di Indonesia, perjuangan itu kerap terasa lebih berat. Bukan hanya karena faktor medis, tapi juga karena lingkungan sosial yang tak ramah.

Pertanyaan-pertanyaan yang terasa "biasa" bagi orang lain, bisa menjadi belati bagi pasangan yang sedang berjuang:

"Sudah isi belum?"

"Kok belum punya anak juga?"

"Kenapa gak coba bayi tabung aja?"

Padahal, tak semua pertanyaan harus diajukan. Dan tidak semua perjuangan harus diumumkan.


Privasi Pejuang yang Sering Terluka

Di negeri ini, privasi sering kali menjadi barang mewah. Masyarakat masih gemar mencampuri ranah pribadi dengan label “peduli”. 

Padahal yang mereka beri bukan empati, melainkan tekanan. Bukan semangat, tapi nyinyiran.

Dan ironisnya, mereka yang berjuang malah harus tersenyum, menunduk, atau bahkan pura-pura bahagia agar tidak dianggap “gagal” sebagai pasangan.


Di Eropa, Pejuang Garis Dua Didukung Bukan Dinilai

Berbeda jauh dengan banyak negara di Eropa.  Di sana, perjuangan mendapatkan keturunan dipandang sebagai hak dan bagian dari layanan kesehatan masyarakat. Negara hadir untuk mendampingi, bukan sekadar mengamati.

Program bayi tabung (IVF) dibiayai penuh oleh pemerintah di negara-negara seperti Denmark, Swedia, Prancis, bahkan Belgia. Pasangan tidak perlu menjual aset atau berhutang demi sekali percobaan. Mereka bisa fokus pada kesehatan mental, kekuatan relasi, dan proses medis itu sendiri.

Yang lebih menghangatkan hati, masyarakatnya tidak sibuk bertanya, tidak saling menggosip. Mereka memberi ruang dan waktu. Mereka memberi dukungan, bukan tekanan.


Indonesia, Kapan Belajar Memeluk dengan Empati?

Bukan berarti kita harus menjadi seperti Eropa. Tapi bukankah sudah saatnya kita belajar tentang empati yang sederhana?

Bahwa tidak semua pasangan langsung diberi anak setelah menikah.

Bahwa pilihan untuk menjalani program bayi tabung adalah hal yang pribadi dan tidak mudah.

Bahwa dukungan tak harus berupa materi, kadang cukup dengan diam yang tidak menghakimi.

Dan yang paling penting, bahwa pemerintah pun seharusnya hadir, dengan kebijakan dan anggaran nyata, bukan sekadar slogan "keluarga berencana".


Akhir Kata: Untuk Para Pejuang

Untuk kalian yang sedang berjuang, tenanglah.

Tidak ada doa yang sia-sia. Tidak ada usaha yang tak dilihat oleh Tuhan. 

Boleh jadi, jalan kita berbeda. Tapi cinta kita sama besar. Pada kehidupan yang sedang ditunggu-tunggu untuk hadir.

Dan jika dunia belum mampu memahami, semoga setidaknya satu tulisan ini bisa menjadi pelukan.

Sebab aku tahu, menjadi pejuang garis dua adalah bentuk cinta yang tak semua orang mampu jalani.

Menjadi orang tua bukanlah takdir semua orang. Tapi menjadi pejuang untuk kehidupan itulah takdir hati yang butuh kesabaran yang kuat.”


Sumber :

European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE)

•OECD Health Data

•Fertility Treatment Coverage by Country – fertilitypedia.org




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeratan Digital: Ketika Pinjol dan Judol Merampas Akal Sehat

Pentingnya Pendidikan Bagi Wanita